GEMAZ Tolak UUPZ
Jakarta (31/10) Setelah disahkan oleh pemerintah Undang Undang Pengelolaan Zakat (UUPZ) yang Kamis (27/10) lalu, para aktifis pegiat zakat kecewa atas terbitnya UU tersebut. Melalui Gerakan Masyarakat Peduli Zakat (GEMAZ) mereka menolak dan mengkritisi UU tersebut yang tak sesuai dengan semangat demokrasi.
Nana Mintarti salah satu aktifis GEMAZ, merasa prihatin terhadap lahirnya UU tersebut dan diprediksikan akan mengkerdilkan peran lembaga zakat yang selama ini menjadi kekuatan filantropi masyarakat.
“Maka terkait dengan UUPZ itulah para aktifis zakat akan melakukan uji publik terkait munculnya UU tersebut,” terangnya.
Lahirnya UUPZ menempatkan BAZNAS sebagai lembaga multi fungsi, yaitu sebagai Perencana (Regulator), Pelaksana (Operator), dan Pengendali (Supervisor). Hal ini sangat bertentangan dengan semangat revisi UU no. 38/99 yang diniatkan untuk melakukan pembagian kewenangan (distribution of power) kepada berbagai stakeholder lembaga.
Kesalahan paling fatal dari UUPZ, dalam release GEMAZS menyebutkan, memberikan kewenangan kepada satu lembaga untuk berperan ganda, baik sebagai “pengawas” maupun “pemain”, seperti termaktub dalam pasal 7 ayat (1) UUPZIS. Untuk menghindari benturan kepentingan, sesuai dengan usulan dan masukan dari berbagai pihak dalam beberapa kesempatan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi VIII DPR-RI, bahwa harus dipisahkan lembaga yang berperan sebagai regulator, supervisor, dan operator. Otorisasi tunggal semacam ini sangat tidak sesuai dengan semangat demokrasi dan akuntabilitas.
Bahkan Yusuf Wibisono, akademisi dari Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah FE UI, menekankan bahwa sentralisasi pengelolaan zakat oleh negara melalui BAZNAS memiliki argumentasi yang lemah, karena justru pengelolaan di banyak negara mengarah kepada pengelolaan yang membuka ruang luas bagi partisipasi publik.
UU ini juga dapat dikatakan menciderai sejarah panjang praktek pengelolaan dana kedermawanan sosial yang berbasis masyarakat lokal, seperti yang dikhawatirkan oleh Amelia Fauzia (Akademisi UIN Jakarta). Sedari dulu, praktek yang berkembang dalam pengelolaan dana ZISWAF adalah masyarakat di masing-masing daerah, komunitas, atau organisasi menjalankan pengelolaannya secara mandiri dan independen. UU ini bahkan dengan vulgar memarjinalkan peran serta masyarakat sipil dalam pengelolaan zakat dengan menempatkannya sebatas membantu BAZNAS.
“UU ini sangat birokratis, dan tanpa adanya ijin dari pemerintah mustahil setiap pihak untuk melakukan kegiatan pengelolaan zakat” tandas Nana Mintarti.
Kemudian munculnya UUPZ, berpotensi menghambat tumbuh-kembangnya organisasi pengelolaan zakat, dengan ketatnya persyaratan pembentukan lembaga zakat, seperti terdaftar sebagai organisasi kemasyarakat Islam, berbadan hukum, mendapatkan rekomendasi dari BAZNAS, dan lain sebagainya. Hemat kami, persoalan perijinan pembentukan lembaga harus dibuka selebar dan se-fleksibel mungkin, tanpa menafikkan aspek monitoring dan pengawasan kinerja lembaga zakat yang telah dikukuhkan. (Agus)
http://pkesinteraktif.com/berita/ziswaf/3000-gemaz-tolak-uupz.html
Nana Mintarti salah satu aktifis GEMAZ, merasa prihatin terhadap lahirnya UU tersebut dan diprediksikan akan mengkerdilkan peran lembaga zakat yang selama ini menjadi kekuatan filantropi masyarakat.
“Maka terkait dengan UUPZ itulah para aktifis zakat akan melakukan uji publik terkait munculnya UU tersebut,” terangnya.
Lahirnya UUPZ menempatkan BAZNAS sebagai lembaga multi fungsi, yaitu sebagai Perencana (Regulator), Pelaksana (Operator), dan Pengendali (Supervisor). Hal ini sangat bertentangan dengan semangat revisi UU no. 38/99 yang diniatkan untuk melakukan pembagian kewenangan (distribution of power) kepada berbagai stakeholder lembaga.
Kesalahan paling fatal dari UUPZ, dalam release GEMAZS menyebutkan, memberikan kewenangan kepada satu lembaga untuk berperan ganda, baik sebagai “pengawas” maupun “pemain”, seperti termaktub dalam pasal 7 ayat (1) UUPZIS. Untuk menghindari benturan kepentingan, sesuai dengan usulan dan masukan dari berbagai pihak dalam beberapa kesempatan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi VIII DPR-RI, bahwa harus dipisahkan lembaga yang berperan sebagai regulator, supervisor, dan operator. Otorisasi tunggal semacam ini sangat tidak sesuai dengan semangat demokrasi dan akuntabilitas.
Bahkan Yusuf Wibisono, akademisi dari Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah FE UI, menekankan bahwa sentralisasi pengelolaan zakat oleh negara melalui BAZNAS memiliki argumentasi yang lemah, karena justru pengelolaan di banyak negara mengarah kepada pengelolaan yang membuka ruang luas bagi partisipasi publik.
UU ini juga dapat dikatakan menciderai sejarah panjang praktek pengelolaan dana kedermawanan sosial yang berbasis masyarakat lokal, seperti yang dikhawatirkan oleh Amelia Fauzia (Akademisi UIN Jakarta). Sedari dulu, praktek yang berkembang dalam pengelolaan dana ZISWAF adalah masyarakat di masing-masing daerah, komunitas, atau organisasi menjalankan pengelolaannya secara mandiri dan independen. UU ini bahkan dengan vulgar memarjinalkan peran serta masyarakat sipil dalam pengelolaan zakat dengan menempatkannya sebatas membantu BAZNAS.
“UU ini sangat birokratis, dan tanpa adanya ijin dari pemerintah mustahil setiap pihak untuk melakukan kegiatan pengelolaan zakat” tandas Nana Mintarti.
Kemudian munculnya UUPZ, berpotensi menghambat tumbuh-kembangnya organisasi pengelolaan zakat, dengan ketatnya persyaratan pembentukan lembaga zakat, seperti terdaftar sebagai organisasi kemasyarakat Islam, berbadan hukum, mendapatkan rekomendasi dari BAZNAS, dan lain sebagainya. Hemat kami, persoalan perijinan pembentukan lembaga harus dibuka selebar dan se-fleksibel mungkin, tanpa menafikkan aspek monitoring dan pengawasan kinerja lembaga zakat yang telah dikukuhkan. (Agus)
http://pkesinteraktif.com/berita/ziswaf/3000-gemaz-tolak-uupz.html
Comments
Post a Comment